Minggu, 13 Agustus 2017

TEKNOLOGI PENGAWETAN KAYU TROPIS

Oleh : Greitta Kusuma Dewi


I.       Latar Belakang dan Arti Penting Teknologi Pengawetan Kayu Tropis dari Hutan di Indonesia dalam Konteks Pemanfaatan untuk Kayu Konstruksi

Konstruksi merupakan suatu kegiatan membangun sarana maupun prasarana (Pusat Bahasa, 2005) menjadi sebuah bangunan atau infrastruktur pada sebuah area. Oleh karena konstruksi membutuhkan kekuatan yang tinggi dalam penggunaannya misalnya sebagai tiang menyangga, bahan baku konstruksi bangunan yang biasanya digunakan selama ini adalah semen, baja, besi, alumunium dan termasuk kayu. Bahan baku semen, baja, besi dan alumunium pada dasarnya tidak ramah lingkungan karena konsumsi energinya tinggi dan tidak dapat diperbaharui, serta biaya besar. Oleh karena itu, penggunaan kayu menjadi pilihan alternatif sebagai bahan konstruksi bangunan. Penggunaan kuda-kuda dari kayu dapat menghemat biaya sekitar 40-50% dibandingkan jika menggunakan baja (Wirjomartono, 1977).
Kayu sebagai bahan konstruksi bangunan memiliki beberapa kelebihan, yaitu lebih ramah lingkungan karena energi yang digunakan untuk menghasilkan 1 metrik ton kayu dalam pembalakan lebih kecil dibanding energi yang digunakan untuk menghasilkan semen, baja, kaca dan alumunium dengan volume  yang sama (Marsoem et al., 2011) dan merupakan sumber daya alam yang dapat diperbaharui, memberikan efek natural dan estetik yang menonjol melalui warna, corak dan penampilan yang menarik, memberikan kenyamanan untuk disentuh dan dilihat, mudah dikerjakan dan dibentuk (diukir, dibubut, disambung, dilapis, direkat dan sebagainya) dengan konsumsi energi yang relatif kecil, terdapat beberapa jenis kayu yang memiliki kekuatan yang sama atau bahkan melebihi bahan konstruksi bangunan non kayu yang selama ini digunakan, isolator panas dan listrik, tahan terhadap reaksi asam lemah dan tidak berkarat. Namun di sisi lain, kayu memiliki beberapa kelemahan, yaitu terpengaruh kelembaban sekitar (sifat higroskopis), bersifat anisotropis, dapat terbakar dan lapuk (Tsoumis, 1991) serta mudah terdegradasi biologi oleh organisme perusak kayu (Priadi, 2005). Hal inilah yang perlu diperhatikan dalam perlakuan strategis penggunaan kayu sebagai bahan konstruksi.
Persyaratan teknis kayu untuk bahan baku konstruksi adalah kuat, keras, berukuran besar dan mempunyai keawetan alami tinggi. Keawetan kayu merupakan faktor penentu apakah kayu dapat digunakan sebagai bahan baku konstruksi atau tidak. Suatu jenis kayu yang memiliki bentuk dan kekuatan yang memenuhi syarat sebagai bahan konstruksi yang baik tidak akan bisa dipakai bila hanya tahan dalam beberapa bulan saja (kelas pakai rendah) (Tim Elsppat, 1997). Oleh karena itu, keawetan kayu sebagai bahan konstruksi menjadi penting karena menentukan umur bertahannya konstruksi tersebut.
Dalam hal inilah, kita perlu memperhatikan pemilihan jenis kayu yang memiliki sifat-sifat seperti di atas.. Di dunia ini ada 2 golongan jenis kayu yang biasa digunakan sebagai bahan konstruksi bangunan berdasarkan lokasi tempat asalnya, yaitu kayu tropis dan kayu non tropis. Kayu tropis memiliki lebih banyak jenis kayu dengan beraneka ragam karakteristik corak, warna dan sifat, cepat produksinya dan lebih tinggi kekerasannya dibanding kayu non tropis. Namun, tidak keseluruhan kayu tropis memiliki keawetan alami yang tinggi dan didukung oleh iklim tropis yang memiliki kondisi lingkungan yang mempercepat dekomposisi dan ragam organisme perusak kayu yang tinggi (Priadi, 2005). Dari sekitar 4000 jenis kayu di Indonesia, hanya 14,3% jenis kayu yang memiliki keawetan alami tinggi (I dan II) sedangkan sebagian besar lainnya rawan terserang organisme perusak kayu (85,7% jenis kayu termasuk kelas awet III,IV dan V) (Martawijaya & Kartasudjana, 1996). Belum lagi saat ini kayu di pasaran banyak dipasok oleh Hutan Tanaman Indonesia (HTI) dan hutan rakyat yang memiliki keawetan alaminya rendah (Abdurrohim, 2000). Hal ini didekati oleh ekstraktif sebagai penyumbang keawetan alami kayu belum terbentuk pada kayu berumur muda. Ekstraktif pada kayu dapat bersifat insektisidal maupun fungisidal (Abdurrohim, 2000). Ekstraktif pada kayu teras Thuja plicata dan Chamaecyparis nootkatensis terbukti memberikan peran yang penting dalam menahan serangan rayap Coptotermes formosanus Shiraki dan jamur pelapuk coklat Postia placenta (Fr.) M. Larsen & Lombard (Taylor et al., 2006). Oleh karena itu, pengawetan menjadi langkah penting untuk dilakukan pada kayu yang keterawetannya rendah (kelas awet III, IV dan V) dan kayu pada umur tebang muda.
Pengawetan kayu  menjadi penting karena pada prinsipnya pengawetan kayu merupakan suatu usaha yang bertujuan untuk melindungi dan menghindarkan kayu dari berbagai serangan unsur-unsur biologi dan lingkungan yang merusak kayu dalam pemakaiannya menjadi lebih panjang (Suranto, 2002). Penelitian Shiozawa (2006) pada Kayu Sugi (Cryptomeria japonica D. Don) bagian gubal menyebutkan bahwa kayu yang diawetkan dengan aminecal copper-boron-zine-silicon (CBZS) mampu memiliki daya tahan tinggi terhadap proses leaching yang dimungkinkan setara dengan ketahanan kayu terhadap kontak langsung dengan tanah selama 2 tahun. Artinya, penambahan bahan pengawet CBZS pada penggunaan kontak langsung dengan tanah dimungkinkan dapat menambah umur pemakaian papan selama 2 tahun dari lama pemakaian kayu yang tidak diawetkan.
Bertambahnya umur pakai kayu akibat proses pengawetan dapat menghemat penggunaan kayu dan menghindari kerugian ekonomi akibat kerusakan kayu oleh organisme perusak kayu yang cukup tinggi. Misalnya saja pada serangan rayap, Guru Besar Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor (IPB), Prof. Dr Dodi Nandika memperkirakan kerugian ekonomi masyarakat Indonesia tahun 2015 mencapai lebih dari 18,68 triliun rupiah yang terdiri dari kerugian pada bangunan rumah sebesar 8,68 triliun rupiah dan kerugian pada bangunan gedung sebesar 10 triliun rupiah (Anonim, 2015). Dengan hematnya penggunaan kayu dan terhindarnya kerugian ekonomi akibat kerusakan kayu oleh organisme perusak kayu, maka dapat membuat laju permintaan kayu menjadi dapat dikendalikan. Terkendalinya permintaan kayu dapat mengurangi tekanan terhadap sumber daya hutan yang saat ini semakin terbatas akibat alih fungsi hutan dan termasuk ekploitasi hasil hutan kayu itu sendiri untuk kepentingan industri maupun rumah tangga. Oleh karena itu, pengawetan kayu dapat menjadi pendukung upaya pelestarian hutan Indonesia. Kelestarian hutan menjadi sangat penting karena berdampak langsung pada stabilitas kehidupan masyarakat Indonesia sebagai akibat fungsi hutan yang menyangga kehidupan manusia.  

II.    Keterawetan Kayu Tropis yang Dilihat dari Konsep Perpindahan Cairan dan Derajat Keterawetan Kayu

Keterawetan kayu adalah ukuran yang menggambarkan mudah tidaknya kayu diresapi dan dimasuki bahan pengawet. Semakin kayu mudah dimasuki bahan pengawet maka kayu dikatakan memiliki keterawetan tinggi (Suranto, 2002). Menurut Hunt dan Garrat (1986), ada empat faktor yang mempengaruhi keterawetan kayu, yaitu :
a.       Jenis kayu, yang ditandai oleh sifat yang melekat pada kayu itu sendiri seperti struktur anatomi, permeabilitas, kerapatan dan sebagainya.
b.      Keadaan kayu pada waktu dilakukan pengawetan, antara lain kadar air, bentuk kayu, gubal/teras dan sebagainya.
c.       Metode pengawetan yang digunakan.
d.      Sifat bahan pengawet yang dipakai.

Besar atau kecilnya nilai keterawetan kayu terkait dengan aliran cairan di dalam kayu. Aliran cairan akan mempengaruhi penetrasi cairan pengawet di dalam kayu (Siau, 1984). Aliran cairan dalam kayu dipengaruhi oleh permeabilitas kayu dan model/wujud cairan bahan pengawet. Permeabilitas adalah suatu pengukuran terhadap kemudahan cairan ditransportasikan di sepanjang media berporus seperti kayu ketika dikenai gradien tekanan (Resch dan Ecklund 1964; Comstock, 1965; Siau, 1971 & 1984). Semakin permeable suatu kayu maka semakin tinggi keterawetan kayu tersebut. Berdasarkan wujud cairan bahan, proses transportasi/aliran yang terjadi di dalam kayu dapat diklasifikasikan menjadi 2 mekanisme fisik dasar yaitu aliran cairan yang melewati ruang yang menghubungkan antar kayu di bawah pengaruh gradien tekanan dan difusi yang dapat dibagi menjadi difusi antar gas dan difusi yang berhubungan dengan air (Siau, 1984).  
Mekanisme aliran cairan yang menghubungkan antar sel kayu dibawah pengaruh gradient tekanan sangat dipengaruhi oleh struktur noktah, sedangkan pada difusi, kombinasi pergerakan gas (uap air) di sepanjang lumen dan pergerakan air di sepanjang dinding sel menjadi penting dalam pergerakan aliran secara transversal dan longitudinal (Choong, 1965). Pada dasarnya, pergerakan atau difusi gas (uap air) pada kayu memiliki 2 tipe yang terjadi secara independen atau berkombinasi, yaitu difusi intergas yang terjadi ketika uap bergerak di sepanjang sel dan lubang noktah, serta aliran pergerakan molekular (molecular slip flow) (atau difusi Knudsen) yang pada hakekatnya mempengaruhi kecepatan aliran gas. Pada difusi yang berhubungan dengan air, terdapat 2 konsep pergerakan air yang melewati dinding sel, yaitu pergerakan masa dari air karena kondensasi kapilaritas air di dinding sel, serta pergerakan lonjakan molekul dari suatu tempat serapan tertentu ke tempat yang lain (Choong, 1963; Stamm, 1964). Konsep difusi yang berhubungan dengan air ini digunakan dalam pengawetan tradisional kayu konstruksi, walaupun  membutuhkan waktu yang lama. Difusi Boron pada kayu In, Kanyin dan Taung-thayet membutuhkan waktu 21 hari untuk berpenetrasi lengkap, sedangkan BFCA membutuhkan waktu 42 hari (Nyunt, 1988).  
      Berdasarkan arah aliran, aliran cairan pada sel kayu dapat terjadi secara aksial maupun lateral. Aliran aksial pada kayu daun jarum terjadi dari sel trakeid longitunal (termasuk kanal resin dan parenkim longitudinal) melewati bidang perforasi yang terdapat pada bagian akhir dan ada yang menuju trakeid lumina, lubang noktah dan pori membran noktah (Cote, 1963; Erickson & Balatinecz, 1964; Choong, 1965; Comstock, 1965; Bailey & Preston, 1969; Isaacs et al., 1971; Bolton & Petty, 1978; Petty, 1970), sedangkan pada kayu daun lebar, aliran aksial banyak terjadi di sel pembuluh menuju ke parenkim, trakeid vasisentik dan serabut yang berdekatan melalui noktah (Wardrop & Davies, 1961; Cote, 1963; Rudman, 1965). Aliran lateral signifikan terjadi pada sel jari-jari (Wardrop & Davies, 1961; Cote, 1963; Behr et al., 1969; Murmanis & Chudnoff, 1979). Khusus pada kayu daun jarum, sel jari-jari berkontribusi besar untuk aliran lateral pada arah radial kayu yang penyusun sel jari-jari tersebut adalah trakeid dan parenkim (Cote, 1963).
      Proses pergerakan cairan pada kayu terjadi diawali dari sel lumen (Murmanis & Chudnoff, 1979; Rudman, 1966a), dan kemudian menuju dinding sel trakeid vertical akibat adanya aliran longitudinal dan aliran radial (Bailey & Preston, 1969). Pergerakan cairan dari lumen paling besar menyumbang permeabilitas sel secara longitudinal. Pergerakan cairan di dalam dinding sel terjadi menggunakan sistem kapilaritas terutama pada larutan yang pelarutnya polar (Rudman, 1965 & 1966a,; Rapp et al., 1999; Gindl et al., 2002). Pergerakan larutan tersebut melalui kapilaritas akan menurun ketika pelarutnya berkurang polaritasnya (Rudman, 1966a; Mantanis et al., 1994). Pergerakan/difusi larutan polar akan baik jika cairan memiliki berat molekul yang rendah (Hartman, 1969; Mantanis et al., 1994) terutama pada serat libriform yang memiliki celah yang sedikit dan kecil (Hansmann et al., 2002). Selain itu, difusi larutan polar (air) juga akan lebih baik pada sel kayu yang kadar airnya tinggi, dibanding kadar air rendah (Choong, 1965). Pada larutan inorganik termasuk bahan pengawet kayu, kapilaritas dinding sel dapat dipenetrasi melalui transfer massa antar lamella tengah (Rudman, 1966b; Petric et al., 2000; Wallstrom & Linberg, 2000). Berdasarkan proses pergerakan aliran cairan tersebut, Palin dan Petty (1981) menguji permeabilitas dinding sel kayu teras spruce yang menyebutkan permeabilitas dinding sel longitudinal memiliki peran paling besar karena daya kapilaritas terjadi paling banyak pada lapisan dinding sel S2 secara pararel terhadap sumbu longitudinal, kemudian permeabilitas dinding sel secara radial lebih tinggi dibanding tangensial, namun keduanya jauh lebih rendah dibanding permeabilitas dinding sel longitudinal.  
Setelah memahami keterawetan kayu yang dijelaskan melalui perpindahan cairan bahan pengawet di dalam kayu, ukuran besarnya keterawetan kayu tersebut dapat dilihat melalui derajat keterawetan kayu. Suranto (2002) menjelaskan bahwa derajat keterawetan kayu merupakan suatu pengertian yang membicarakan tentang banyak sedikitnya bahan pengawet yang meresap ke dalam kayu. Derajat keterawetan ini diukur dengan menggunakan 3 macam tolak ukur yaitu penetrasi, absorpsi dan retensi yang ketiganya mempunyai hubungan berbanding lurus. Penetrasi adalah suatu ukuran yang menggambarkan kedalaman bahan pengawet masuk ke dalam kayu. Absorpsi adalah ukuran yang menggambarkan banyaknya cairan pengawet yang dapat dikandung oleh kayu setelah diawetkan. Retensi adalah suatu ukuran yang menggambarkan banyaknya (beratnya) zat pengawet murni (bahan aktif pengawet) yang dapat dikandung oleh kayu setelah terawetkan.
Adapun yang mempengaruhi retensi, penetrasi dan absorpsi bahan pengawet di dalam kayu meliputi struktur anatomi kayu yang didalamnya termasuk porositas (Ding et al., 2008) dan permeabilitas, jenis bahan pengawet (Tascioglu et al. 2003), metode pengawetan (Nyunt, 1988) dan kondisi bahan pengawet. Pengaruh struktur anatomi termasuk porositas dan permeabilitas kayu, serta jenis pengawet akan dijelaskan pada sub bab III pada makalah ini, sedangkan pengaruh metode pengawetan dan kondisi bahan pengawet akan dijelaskan pada sub bab ini.
Penelitian pengaruh kondisi bahan pengawet (konsentrasi bahan pengawet) dan metode pengawetan terhadap penetrasi, absorpsi dan retensi pengawet dilakukan oleh Nyunt (1988) yang meneliti sifat keterawetan dan ketahanan fungi 3 jenis kayu yaitu Kayu In, Kanyin dan Taung-thayet pada bahan berbagai jenis bahan pengawet (CCA, BFCA dan Boron), konsentrasi pengawet, metode pengawetan. Pengaruh konsentrasi bahan pengawet berkorelasi positif terhadap retensi bahan pengawet di dalam kayu. Jenis bahan pengawet juga mempengaruhi besarnya retensi dan absopsi pada 3 jenis kayu. Perlakuan incising membuat retensi pada Kayu In dan Kanyin meningkat 2 kali lipat dari retensi pada metode vacuum/pressure, sedangkan pada Kayu Taung-thayet, peningkatan retensi 2 kali lipat terjadi pada perlakuan incising dengan vacuum/pressure dalam waktu lama. Perlakuan penguapan/steam pada metode vacuum/pressure tidak meningkatkan retensi kayu Kanyin secara signifikan jika dibandingkan pada kondisi kering. Kombinasi perlakuan incising dan vacuum/pressure waktu lama pada sampel kering udara meningkatkan absorpsi pada 3 jenis kayu secara signifikan. Perlakuan difusi Boron menghasilkan penetrasi bahan pengawet yang baik dapat menjadi alternative pengawetan kayu konstruksi interior disamping metode vacuum/pressure, walaupun dibutuhkan waktu 21 hari pada Kayu In dan Taung-thayet.

III. Retensi dan Konsentrasi Bahan Pengawet dalam Konteks Struktur Anatomi Kayu, Porositas dan Permeabilitas Kayu
Bahan pengawet kayu dibagi menjadi 3 tipe, yaitu minyak-tar, larut air dan larut pelarut organik (Nyunt, 1988). Bahan pengawet yang larut air meliputi chromate copper boron (CCA), ammoniacal copper arsenate, acid copper chromate, ammoniacal copper zinc arsenate and ammoniacal copper quaternary, sedangkan pengawet yang larut pelarut organik meliputi kreosot, tar batu bara dan pentaklorofenol (PCP) (Hingston et al., 2001). Jenis bahan pengawet yang berbeda tersebut yang dihadapkan pada keterawetan kayu yang tertentu berdasarkan jenis kayu tertentu akan membuat retensi bahan pengawet yang berbeda. Sebagai contoh, hal tersebut terjadi pada penelitian Tascioglu et al. (2003) yang meneliti tentang pengaruh jenis bahan pengawet (larut air dan larut minyak) terhadap sifat perekatan papan laminasi kayu pinus kuning selatan (Tabel 1) dimana bahan pengawet larut air yang digunakan adalah CCA dan CDDC, serta bahan pengawet larut minyak, yaitu copper naphthalene (CuN), PCP dan kreosot. Pada konsentrasi pengawet yang sama yaitu 5%, retensi bahan pengawet pada papan lamina pinus kuning dengan menggunakan CCA sebesar 23,9 kg/m3, sedangkan pada PCP sebesar 9,29 kg/m3.

Retensi dan konsentrasi bahan pengawet di dalam kayu (keterawetan kayu) dipengaruhi oleh struktur anatomi kayu, porositas kayu dan permeabilitas kayu. Retensi dan konsentrasi bahan pengawet antara kayu gubal dan kayu teras, serta antara kayu daun jarum dan kayu daun lebar tentunya akan berbeda karena struktur anatomi, porositas dan permeabilitas antara kayu-kayu tersebut yang berbeda. Struktur anatomi kayu yang mempengaruhi retensi dan konsentrasi kayu terkait dengan jenis-jenis sel (sel pembuluh, parenkim, serabut, jari-jari, dan trakeid) beserta dengan keadaannya akan mempengaruhi porositas dan permeabilitas kayu. Pengaruh porositas terhadap tingkat aliran volumetrik (retensi bahan pengawet) dapat dilihat melalui ukuran pori (Wang & DeGroot, 1996). Porositas kayu menentukan kecepatan impregnasi dan retensi polimer terutama pada porositas dengan diameter pori >0,1 µm (Ding et al., 2008).
Pada kayu daun jarum, karena ukuran lebih kecil daripada lumen trakeid, keterawetan kayu sangat tergantung oleh ukuran dan kondisi struktur dari noktah. Parameter yang mempengaruhi adalah ukuran pori efektif, banyaknya lubang noktah per unit area, kemungkinan pit teraspirasi maupun deaspirasi, pemadatan (encrustation) membran pit dan panjang trakeid (Wang & DeGroot, 1996). Selain lubang noktah, pori mikro di dinding sel memiliki peran terhadap keterawetan, terutama ketika pelarut polar digunakan dalam bahan pengawet (pengawet larut air) (Nicholas dan Siau, 1973). Permeabilitas membran noktah yang tidak teraspirasi pada kayu daun jarum relatif tinggi akibat kehadiran struktur margo yang terbuka, namun fungsi margo yang terbuka tersebut akan menurun akibat adanya aspirasi pada membran noktah (Cote, 1990). Pada tahap pengeringan sebelum perlakuan pengawetan, membran noktah akan teraspirasi ketika air keluar dari sel dan terjadi meniskus air-udara melewati membran. Membran noktah teraspirasi menyebabkan tertutup rapatnya membran dan lubang noktah karena ikatan hidrogen, daya kapilaritas (Thomas and Kringstad, 1971), sedangkan pada kayu teras, aspirasi noktah disebabkan oleh ekstraktif. Adanya noktah yang terkonsentrasi pada permukaan radial membuat sel jari-jari menjadi penyalur utama untuk aliran radial (Erikson, 1970; Cote, 1963).
Pada kayu daun lebar, sel pembuluh merupakan sel yang berkontribusi paling besar pada pengaliran bahan pengawet. Oleh karena itu, ukuran, distribusi dan kondisi sel pembuluh merupakan faktor penting yang mempengaruhi keterawetan kayu daun lebar. Kondisi sel pembuluh yang lumennya terdapat atau ditutupi tilosis, getah gum, getah resin dan eksudat/ekstraktif kapur akan menurunkan keterawetan kayu teras dan zona transisi kayu teras-kayu gubal pada kayu daun lebar (Kumar & Dobriyal 1993; Perng, Brebner, dan Schneider 1985). Pada kayu daun lebar, ketika pembuluh tersumbat oleh tilosis dan ekstraktif, sel jari-jari dan sel serabut dapat berfungsi sebagai saluran yang menyalurkan cairan. Hal tersebut terbukti pada penelitian Greaves & Levy, 1978 dan Bosshard, 1961 yang menyatakan bahwa konsentrasi bahan pengawet CCA dan kreosot relatif tinggi terdapat pada jaringan sel jari-jari pada kayu daun lebar. Sel parenkim jari-jari juga merupakan saluran yang penting pada aliran radial pada beberapa spesies (Behr et al., 1969). Berbeda dengan hal di atas, Teesdale dan MacLean (1918) menyimpulkan bahwa sel jari-jari kayu daun lebar tidak memegang peranan penting dalam distribusi pengawet kreosot secara melintang. Pada sel pembuluh yang tersumbat, noktah yang tersumbat, sel pembuluh yang terisolasi dan sel pembuluh yang rendah volumenya, sel serabut menjadi sangat penting sebagai saluran aliran cairan (Thomas, 1976; Teesdale dan MacLean, 1918).
            Aliran cairan antar sel pada kayu daun lebar terjadi melalui noktah berpasangan berhalaman maupun setengah berhalaman (Siau, 1984; Perng, Brebner, dan Schneider, 1985). Membran noktah pada kayu daun lebar memiliki struktur margo yang terbuka lebih sedikit dibanding kayu daun jarum. Meskipun kekurangan margo, membran noktah pada dasarnya tetap permeable (Siau, 1984; Thomas, 1976; Cote, 1963). Membran noktah ini berada pada noktah berpasangan berhalaman di antara sel pembuluh, di antara sel pembuluh dan sel trakeid serabut, serta di antara parenkim longitudinal dan parenkim jari-jari yang peranannya sebagai penyaring aliran cairan. Sama seperti kayu daun jarum, membran noktah kayu gubal pada kayu daun lebar juga dapat teraspirasi dan terjadi encrustation (Panshin dan deZeeuw, 1980; Hillis, 1987). Hal ini yang berkontribusi pada penurunan keterawetan kayu teras pada kayu daun lebar (Cote, 1963; Krahmer dan Cote, 1963).
Kayu gubal memiliki sifat mudah diimpregnasi (kecuali jenis Spruce), sedangkan kayu teras lebih sulit diimpregnasi dengan hanya menggunakan metode konvensional (USDA, 1987). Sulitnya kayu teras diberi perlakuan dalam hal ini dialiri bahan pengawet dikarenakan kayu teras memiliki pori yang kecil (Petty and Preston, 1969; Stamm, 1970), pit teraspirasi permanen (Thomas dan Nicholas, 1966; Thomas and Kringstad, 1971), ekstraktif yang tersimpan di membrane noktah saat pembentukan kayu teras (Hillis, 1987; Siau, 1984; Cote, 1990; Panshin dan DeZeeuw, 1980) dan terbentuknya tilosis (Siau, 1984; Cote, 1990; Panshin dan DeZeeuw, 1980). Oleh karena banyaknya hal yang menghalangi aliran bahan pengawet pada kayu teras, maka keterawetan kayu teras rendah. Peningkatan presentase kayu teras akan membuat retensi total pada kayu terawet menurun secara eksponensial (Huffman, 1996 dalam Wang & Degroot, 1996). Hal tersebut terjadi akibat kayu teras yang memiliki permeabilitas yang lebih rendah.


IV. Keefektifan Sistem Pengawetan Kayu

Keefektifan sistem pengawetan kayu dapat dilihat melalui fiksasi dan pelindian bahan pengawet. Fiksasi bahan pengawet adalah derajat keterikatan persemayaman bahan pengawet di dalam struktur sel kayu, sedangkan pelindian bahan pengawet adalah tingkat pengeluaran bahan aktif pengawet akibat agen pelindi. Fiksasi dan perlindian kayu berjalan Semakin tinggi fiksasi dan semakin rendah tingkat pelindian bahan pengawet akan membuat sistem pengawetan kayu semakin efektif. Fiksasi dan pelindian bahan pengawet dipengaruhi oleh jenis kayu, jenis bahan pengawet, suhu cairan bahan pengawet, metode pengawetan yang diterapkan, perlakuan awal sebelum kayu diawetkan, perlakuan paripurna (setelah kayu diawetkan), durasi fiksasi, dimensi sortimen kayu terawet dan tingkat kesehatan kayu.
a.       Jenis kayu
Fiksasi pada kayu daun jarum lebih besar dibanding kayu daun lebar. Kayu daun lebar memiliki tingkat perlindian yang bervariasi antar jenis kayu dan lebih tinggi, fiksasi Cr yang cepat (Red maple) meningkatkan perlindian Cr dan terutama As (Kamdem et al. 1996; Cooper et al.,1997; Stevanovic-Janezic et al., 2000, 2001). Fiksasi pada kayu gubal lebih besar dibanding kayu teras. Fiksasi pada kayu awal lebih besar dibanding kayu akhir. Penelitian Radivojevic dan Copper (2007) menyebutkan bahwa setiap jenis kayu memiliki pola fiksasi dan tingkat pelindian yang berbeda. Pada Kayu Red pine yang diberi pengawet CCA-C, fiksasi yang paling cepat ke paling lambat adalah Cu, As dan Cr, sedangkan pola fiksasi pada Kayu Red maple dengan perlakuan sama dimulai dari Cr, Cu, dan As. Tingkat perlindian Kayu Red pine lebih kecil dibanding Kayu Red Pine.


b.      Jenis bahan pengawet
Tingkat fiksasi dan pelindian bahan pengawet larut minyak lebih tinggi dibanding fiksasi bahan pengawet larut air. Hal itu karena minyak khalis air sehingga bahan pengawet larut minyak yang ada di dalam kayu tidak akan tercuci oleh air setelah kayu terawetkan. Tingkat fiksasi dan perlindian pada bahan pengawet larut air disebabkan oleh perbedaan karakter dari bahan pengawet, meliputi :
·         Unsur kimia pengawet
Sumber copper yang digunakan akan mempengaruhi tingkat perlindian cooper. Copper yang berasal dari CuSO4_ dan Cu(NO3)2_ memiliki tingkat perlindian copper yang lebih rendah dibanding dari Cu(OH)2_ dan CuCO3_ (Zhang & Kamdem, 1999).
·         Molar ratio atau komposisi bahan pengawet dan pelarutnya
Penambahan amina pada molar rasio copper akan menambah retensi dan  copper pada Kayu Pinus Selatan, tetapi justru meningkatkan perlindian copper selama perlindian air (Zhang & Kamdem, 1999). Penambahan cobiosida alkil diethyl benzene ammonium chlorite pada copper ethanolamine menambah waktu fiksasi (Humar et al., 2007).
·         Bentuk bahan pengawet khususnya bentuk bahan aktif penyusun bahan pengawet
Bahan aktif yang berbentuk oksida akan berbeda tingkat fiksasi dan perlindiannya dibanding bentuk garam.
·         Tingkat keasaman bahan pengawet
pH yang tinggi akibat tingginya retensi copper pada kayu akan meningkatkan perlindian copper (Zhang & Kamdem, 1999).
·         Konsentrasi bahan pengawet
Peningkatan konsentrasi Tanalith C berbasis garam meningkatkan fiksasi As, namun menurunkan fiksasi Cu (Wilson, 1971).
c.       Suhu larutan bahan pengawet
Peningkatan suhu larutan bahan pengawet CCA pada kayu Pinus radiata D. Don terawet menyebabkan penurunan lindian chromium dan copper, namun justru terjadi kenaikan lindian arsen (Walley, 1996). Berbeda dengan hasil tersebut, pada kayu Spruce Norway, peningkatan suhu larutan CCA hingga 103°C meningkatkan perlindian Cu (Humar & Zlindra, 2007).
d.      Metode pengawetan yang diterapkan
Perlakuan Lowry dan Alternating Pressure Method (APM) dapat meningkatkan kekuatan larutan terfiksasi pada kayu Pinus radiata D. Don sehingga dapat menurunkan lindian chromium dibanding proses Bethel (Walley, 1996).
e.       Durasi fiksasi
Semakin lama waktu fiksasi maka meningkatkan kualitas fiksasi dengan tingkat perlindian Cu pada pengawet CuE menjadi semakin kecil (Humar et al., 2007).
f.       Perlakuan awal sebelum kayu diawetkan
Pemberian vakum di awal proses Bethel termodifikasi dapat mempengaruhi konsentrasi pelindian chromium dan penetrasi bahan pengawet pada kayu teras Pinus radiata D. Don (Walley, 1996).
g.      Perlakuan paripurna setelah kayu diawetkan
Perlakuan fiksasi 12 jam yang diikuti dengan wet bulb rendah dan pengeringan suhu 60-74°C selama 3 hari pada Kayu Pinus selatan yang MC-nya  12% menurunkan tingkat perlindian chromium, copper dan arsenik secara signifikan dibanding kayu yang dikering udarakan selama 3 bulan dengan MC 20 ± 3% (Boone et al., 1995).
h.      Dimensi sortimen kayu
Semakin besar dimensi sortimen kayu akan meningkatkan tingkat fiksasi (perlu penetrasi dan retensi bahan pengawet yang tinggi, serta lama fiksasi tinggi.
i.        Tingkat kesehatan kayu
Kayu yang sehat memiliki tingkat fiksasi yang lebih tinggi dibanding kayu yang tidak sehat. 

V.    Strategi Pemilihan dan Penggunaan Kayu Terawet dari Aspek Lingkungan

Pengawetan kayu selalu dihadapkan pada bagaimana Strategi pemilihan dan penggunaan kayu terawet dalam perspektif mitigasi terhadap pencemaran lingkungan baik lingkungan perairan maupun lingkungan terrestrial dilakukan dengan memperhatikan pemilihan bahan pengawet, pemilihan kayu terawet yang ada di pasaran dan sensibilitas lingkungan. Pemilihan bahan pengawet sebaiknya memperhatikan jenis-jenis bahan pengawet tidak mencemari lingkungan (tingkat pelindian rendah) karena pada dasarnya pengawet bersifat beracun bagi mikroorganisme, proporsi bahan aktif dalam bahan pengawet karena berkaitan dengan tingkat pelindian bahan pengawet, serta disesuaikan dengan biaya pengawetan yang tersedia. Pemilihan kayu terawet yang tersedia di pasaran perlu memperhatikan dan memilih kayu yang histori pengawetan kayu jelas dan baik hasilnya meliputi jenis bahan pengawet yang dipakai, metode pengawetannya dan proses fiksasinya. Sensibilitas lingkungan baik pada lingkungan terrestrial maupun perairan sangat mempengaruhi pemilihan bahan pengawet yang digunakan. Pada lingkungan perairan yang lebih sensitif karena kemungkinan pencemarannya lebih tinggi dibanding lingkungan terrestrial (kayu terawet langsung berhadapan dengan agen pelindi air) dan penggunaan bahan pengawet yang lebih lethal akibat lingkungan ekstrim, pengawetan kayu perlu mendapat perhatian yang lebih dibanding pada lingkungan terrestrial. Misalnya pada daerah perairan tidak diperbolehkan menggunakan bahan pengawet larut minyak karena minyak dapat mencemari lingkungan akibat fiksasi bahan pengawet di dalam kayu yang cenderung rendah dan disarankan penggunaan kayu terawet dengan bahan pengawet larut air yang kadar Cu-nya rendah.
Demi terwujudnya pengawetan kayu yang tidak mencemari lingkungan, pada beberapa negara maju telah menetapkan standar-standar penggunaan pengawet. Misalnya pada negara Amerika Serikat yang memiliki komunitas peneliti bahan pengawet, yaitu AWPA (American Wood Preserver's Association) yang membuat standar kategorisasi penggunaan atau use category system (UCS), standar bahan pengawet, metode pengawetan dan tipe-tipe produk ter-finishing. UCS memuat definisi penggunaan kayu, kondisi lapangan, arahan penggunaan kayu terawet, jenis-jenis bahan pengawet yang diperbolehkan digunakan dan spesifikasi produk komoditi tertentu misalnya pada produk kayu gergajian dan pengaplikasian zat penghambat api. UCS membagi produk kayu terawet menjadi U1 dan T1. UCS juga memiliki beberapa kategorisasi bahan pengawet berdasarkan agen perusak kayu misalnya UCFA1 yang berkaitan dengan zat penghambat api (AWPA, 2017).
Menurut standard komersial CS 250-62 dari AWPA, untuk pancang laut S. Pine, peresapan minimum 4 inci atau minimum 90% kayu gubal dan retensi minimum 25 pcf (bahan pengawet larut minyak) pada 3 inci terluar dari 20 pengeboran. Standard CS 249-62 untuk pancang Douglas _fir, kayu gubal minimum 1 inci, penetrasi minimum 1 inci atau 85% kayu gubal apabila kayu gubal lebih besar dari 1 inci dan retensi minimum 20 pcf dalam 2 inci terluar pengeboran. Retensi untuk bahan pengawet larut air 1/3 sampai 1 pcf (pound per cubic foot) dan lebih tinggi untuk lingkungan yang lebih keras. Untuk kreosot di darat, 6-I0 pcf untuk bantalan, 8-10 pcf untuk tiang dan 8-12 pcf untuk kayu dan papan (Hadikusumo, 2003).
Di Indonesia, standar sistem pengawetan kayu masih lemah dibanding negara maju. Hal itu didukung oleh penggunaan kayu terawet yang belum banyak, peraturan/kebijakan yang masih lemah, kesadaran masyarakat akan pencemaran lingkungan masih kecil dan pemahaman dan keterampilan masyarakat Indonesia tentang proses pengawetan yang masih rendah. Namun, di Indonesia terdapat persyaratan retensi berbeda-beda tergantung jenis bahan pengawet dan tempat penggunaannya. Di bawah ini diberikan persyaratan retensi untuk masing-masing bahan pengawet larut air untuk keperluan bahan bangunan di Indonesia (Tabel 7).

DAFTAR PUSTAKA
Abdurrohim, S. Manfaat Pengawetan Kayu Perumahan dan Gedung. Makalah. Diskusi Peningkatan Kualitas Kayu pada tanggal 24 Februari 2000 di Bogor.

Anonim. 2015. Kerugian Akibat Serangan Rayap Capai Rp 18,68 Triliun. Diakses pada http://www.sainsindonesia.co.id/index.php/kabar-terkini/1528-kerugian-akibat-serangan-rayap-capai-rp-1868-triliun  tanggal 6 April 2017.

AWPA. 2017. Organization and Use of Standards. Diakses pada http://www.awpa.com/standards/organization.asp pada tanggal 9 April 2017.

Bailey, P. J. dan Preston, R. D. 1969. Some aspects of softwood permeability I. Structural studies with douglas fir sapwood and heartwood. Holzforschung 23(14): 113-120.
Behr, E. A., I.B. Sachs, B. F. Kukachka, J. O. Blew. 1969. Microscopic examination of pressure-treated wood. Forest Products Journal 19(8): 31-40.
Bolton, A. J. dan Petty, J. A. 1978. A model describing axial flow of liquids through conifer wood. Wood Science and Technology 12: 37-48.
Boone , R. S. , J. E. Winandy, dan J. J. Fuller. 1995. Effects of redrying schedule on preservative fixation and strength of cca-treated lumber. Forest Prod. J. 45(9):65-73.
Bosshard, H. H. 1961. On the taroil-impregnation of railway sleepers from beech and oak wood with temperatures of 100 C and 130 C – Part I: Microstructure observation of chanes in the structure and moisture content of impregnated wood. Holz als Roh und Werkstoff 19: 357-70.
Choong, E. T. 1963. Movement of moisture through softwood in the hygroscopic range. Forest Products Journal 13: 489-498.
Choong, E. T. 1965. Diffusion coefficients of softwoods by Stready-state and theoretical methods. Forest Products Journal: 21-27.
Commstock, G. L. 1965. Longitudinal permeability of green Eastern hemlock. Forest Product Journal 15(10): 441-449.
Comstock, G. L. 1965. Longitudinal permeability of green Eastern hemlock. Forest Products Journal 15(10): 441-449.
Cooper, P. A., T. ung., dan D. P. Kamdem. 1997. Fixation and leaching of red maple (Acer rubrum L.) treated with CCA-C. Forest Prod. J. 47(2):70–74
Cote W. A. 1990. Colley Lecture: In Search of Pathways Through Wood, Proceedings of the 86th Annual Meeting of the American Wood Preservers Association, Vol. 86. Nashville. Stevensville MD 21666.
Cote W. A. 1990. Colley Lecture: In Search of Pathways Through Wood. Proceeding of the 86th Annual Meeting of the American Wood Presevers Association, Vol. 86, Opryland Hotel, Nashville, Tennessee, April 30-May 2, 1990, AWPA, PO Box 849, Stevensville, MD 21666.
Cote, W. A., JR. 1963. Structural factors affecting the permeability of wood. Journal of Polymer Science: Part C 2: 231-242.
Ding, W. D. , A. Koubaa, A. Chaala, T. Belem, dan C. Krause. 2008. Relationship between wood porosity, wood density and methyl methacrylate impregnation rate. Wood Material Science and Engineering 1-2: 62-70.
Erickson, H. D. 1970. Permeability of southern pine wood- a review. Wood Science 2(3): 149-58.
Erickson, H. D. dan Balatinecz, J. J. 1964. Liquid flow path into wood using polymerization technigues – douglas fir and styrene. Forest Products Journal 14: 293-299.
Gindl, W., E. Dessipri, R. Wimmer. 2002. Using UV-Microscopy to study diffusion of melamine-urea-formaldehyde resin in cell walls of spruce wood. Holzforchung 56, 103-107.
Greaves, H. dan J. F. Levy. 1978. Penetration and distribution of copper-chrome-arsenic preservative in selected wood spesies 1. Influence of gross anatomy on penetration, as determined by X-ray microanalysis. Holzforschung 32(6): 200-208.
Hadikusumo, S. A. 2003. Bahan Ajar Pengawetan Kayu. Fakultas Kehutanan UGM. Yogyakarta.
Hansmann, C., W. Gindl, R. Wimmer, dan A. Teischinger. 2002. Permeability of wood- a review. Wood Research 47 (4): 1-16.
Hartman, S. 1969. Modfied wood with aqueous polyurethane systems. Forest Products Journal 19(5): 3942.
Hillis, W. E. 1987. Heartwood and Tree Exudates Springer-Verlag. Berlin. New York.
Hingston, J. A., C.D. Collins, R.J. Murphy dan J.N. Lester. 2001. Leaching of chromated copper arsenate wood preservatives: a review. Environmental Pollution 111: 53-66.
Humar, M. dan D. Zlindra. 2007. Influence of temperature on fixation of copper–ethanolamine-based wood preservatives. Building and Environment 42: 4068–407.
Humar, M., D. Zlindra., dan F. Pohleven. 2007. Fixation of copper-ethanolamine wood preservatives to Norway Spruce sawdust. Acta Chim. Slov. 54: 154–159.
Hunt, G. M. dan G. A. Garrat. 1986. Pengawetan Kayu Terj. M. Jusuf Ed. Pertama. Akademika Pressindo. Jakarta Timur.
Isaacs, C.P., E. T. Choong, P. J. dan P. J. Fogs. 1971. Permeability variation within a wottonwood Tree. Wood Science 3(4): 231-237.
Kamdem, D. P., E. Vlna, dan P. A. Cooper. 1996. Fixation and leaching of CCA-C treated eastern hardwood species. Proc. Can. Wood Preserv. Assoc. 17:135–146.
Krahmer, R. L. dan W. A. Cote. 1963. Changes in coniferous wood cells associated with heartwood formation. Tappi 46(1): 42-49.
Kumar, S. dan P. B. Dobriyal. 1993. Penetration indices of hardwoods aquantitative approach to define treatability. Wood and Fiber Sci., 25(2): 192-7.
Mantanis. G. I., R. A. Young, dan R. M. Rowell. 1994. Swelling of wood Part II. Swelling in organic liquids. Holzforschung 48, 480-490.
Marsoem, S. N., J. Sulistyo dan J.P. Gentur Sutapa. 2011. Buku Ajar Sifat-Sifat Dasar Kayu. Fakultas Kehutanan UGM. Yogyakarta.
Martawijaya, A. dan S. Abdurrohim. 1984. Spesifikasi Pengawetan Kayu untuk Perumahan. Edisi Ketiga. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan. Bogor. 
Martawijaya. A. dan Kartasudjana. 1996. Ciri umum, sifat, dan kegunaan jenis-jenis kayu Indonesia. Forest Products and Social-Economic Research and Development Centre. Bohor.
Murmanis, L. dan Chudnoff, M. 1979. Lateral flow in beech and birch as revealed by the slectron microscope. Wood Science and Technology 13:79-87.
Nicholas, D. D. dan J. F. Siau. 1973. “Factors Influencing Treatability” in Wood Deterioration and Its Prevention by Preservative Treatments, Vol II Preservatives and Preservative Systems. Syracuse University Press Syracuse. New York.
Nyunt, U. A. 1988. Treatability and performance of In, Kanyin and Taung-thayet. Leaflet of Forestry Ministry. Government of the Union of Myanmar No. 4/87-88.
Palin, M. A. dan Petty, J. A. 1981. Permeability to water of the cell wall material of spruce heartwood. Wood Science and Technology 15: 161-169.
Panshin, A. J. dan C. Dezeeuw. 1980. Textbook of Wood Technology. McGraw-Hill Book Company. New York.
Perng, W. R., K. I. Brebner, dan M. H. Schneider. Aspen wood anatomy and fluid transport. Wood and Fiber Science, 17(2): 281-89.
Petric, M., Murphy, R. J., Morris, I. 2000. Microdistribution of some copper and zic containing waterborne  and organic solvent wood preservatives in spruce wood cell walls. Holzforschung 54, 23-26.
Petty, J. A. 1970. Permeability and structure of the wood of sitka spruce. Proceedings of the Royal Society London B(175): 149 – 166.
Petty, J. A. dan R. D. Preston. 1969. The dimentions and number of pit membrane pores in conifer wood. Proc. Ro. Soc. Lond. B172: 137-51.
Priadi, T. 2005. Pelapukan oleh jamur dan strategi pengendaliannya. Makalah pribadi. Fakultas Kehutanan IPB. Bogor. 
Pusat Bahasa. 2005. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Edisi Ketiga. Balai Pustaka. ISBN 9789794071823. Jakarta
Radivojevic, S. dan P. A. Cooper. 2007. Effects of CCA-C preservative retention and wood species on fixation and leaching of Cr, Cu, and As. Wood and Fiber Science, 39(4): 591 – 602.
Rapp, A. O., H. Bestgen, W. Adam, R. D. Peek. 1999. Electron Loss Spectoscopy ( EELS) for quantification of cell-wall penetration of a melamine resin. Holzforchung 53, 111-117.
Resch, H dan B. A. Ecklund. 1964. Permeability of wood. Exemplified by measurements on redwood. Foresr Product Journal 14: 199-206. 
Resch, H. Dan Ecklund, B. A. 1964. Permeability of wood. Exemplified by measurements on redwood. Forest Product Jurnal 14: 199-206.
Rudman, P. 1965. Studies in Wood Preservation. Part I. The penetration of liquids into eucalypt sapwoods. Holzforschung 19(1): 5-13.
Rudman, P. 1966. Studies in wood preservation. Part II. Movement of aqueous solutions through the pits and cell walls of eucalyptus sapwoods. Holzforschung 20(2): 57-60.
Rudman, P. 1966. Studies in wood preservation. Part III. The penetration of the fine structure of wood by inorganic solutions, including wood preservatives. Holzforschung 20(2): 60-67. Sci.
Shiozawa, K. 2006. Fixation of aminecal copper-boron-zine-silicon (CBZS) wood preservatives in  wood. Mokuzai Hozon (Wood Protection) 32 (3): 90-96.
Siau, J. F. 1971. Flow in wood. Syracause Wood Science 131.
Siau, J. F. 1984. Transport Processes in Wood. Springer-Verlag. Berlin 245
Stamm, A. J. 1964. Wood and Cellulose Science. The Roland Press Company. New York 549pp.
Stamm, A. J. 1970. Maximum effective pit pore radii of the heartwood and sapwood of six softwoods as affected by drying and resoaking. Wood and Fiber 1(4): 263-69.
Stevanovic-Janezic T., P. Cooper, And T. Ung. 2000. Chromated copper arsenate preservative treatment of North American hardwoods. Part 1: CCA Fixation performance. Holzforschung 54:577–584.
Stevanovic-Janezic T., P. Cooper, And T. Ung. 2001. Chromated copper arsenate preservative treatment of North American hardwoods. Part 2: Leaching performance. Holzforschung 55:7–12.
Suranto, Y. 2002. Pengawetan Kayu, Bahan dan Metode. Kanisius. Yogyakarta.
Tascioglu, C., B. Goodell, R. L. Anido. 2003. Bond durability characterization of preservative treated wood and E-glass/phenolic composite interfaces. Composites Science and Technology 63: 979–991.
Taylor, A. M., B. L. Gartner dan J. J. Morrell. 2006. Effect of heartwood extractives fractions of Thuja plicata and Chamaecyparis nootkatensis on wood degradation by termites or fungi. J. Wood Science 52 (2): 147-153. 
Teesdale, C. H. dan J. D. Maclean. 1918. Relative resistence of various hardwoods to injection with cresote. USDA Bull No. 606. p. 36.
Thomas, R. J. 1976. Anatomical features affecting liquid penereability in three hardwood species. Wood and Fiber 7(4): 256-63.
Thomas, R. J. dan D. D. Nicholas. 1966. Pit membrane structure in loblolly pine influenced by solvent exchange drying. Forest Prod. Journal 16(3):57-59.
Thomas, R. J. dan K. P. Kringstad. 1971. The role of hydrogen bonding in pit aspiration. Holzforschung 25(5): 148-48.
Tim Elsppat. 1997. Pengawetan Kayu Dan Bambu. Puspa Swara. Anggota IKAPI. Jakarta.
Tsoumis, G. 1991. Science and Technology of Wood Structure, Properties,Utilization. Van Nostrand Reinhold. New York.
USDA  Forest Product Lab and Forest Servce. 1987. Wood Handbook: Wood as an Engineering Material; Agricultural Handbook 72, Superintendent of Documents. US Gov. Printing Office, Washington DC 20402.
Walley, S. 1996. Fixation mechanism of Copper Chrome Arsenate (CCA) wood preservative. Thesis. University of Melbourne. Australia.
Wallstrom, L. dan Lindberg, K. A. H. 2000. The Diffusion, size and location of added silver grains in the cell walls of Swedish pine, Pinus Sylvestris. Wood Sci Technol 34, 403-415.
Wang, J. Z. dan R. DeGroot. 1996.  Treatability and durability of heartwood. National Conference on Wood Transportation Structures Oktober, 1996 hal. 252-260.
Wardrop, A. B. dan Davies, G. W. 1961. Morphological factors relating to the penetration of liquids into wood. Holzforschung 15(5): 129 – 141.
Wilson, A. 1971. The effects of temperature, solutions strength and timber species on the rate of fixation of a copper-chrome-arsenate wood preservative. J. Inst. Wood Sci. 5(6):36–40.
Wilson, A. 1971. The effects of temperature, solutions strength and timber species on the rate of fixation of a copper-chrome-arsenate wood preservative. J. Inst. Wood Sci. 5(6):6167.
Wirjomartono. 1977. Konstruksi Kayu II. Diktat Kuliah. Fakultas Teknik Sipil. Universitas Gadjah Mada.
Zhang, J. dan D. P. Kamdem. 2000. Interaction of copper-amine with southern pine: retention and migration. Wood and Fiber Science 12(1): 132-319.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Matriks Produk Komposit dan Sifat Rekatnya

Oleh Greitta K. D.  No Jenis Matriks Status Penggunaan Jenis Produk Komposit Sifat Rekat ...