Rabu, 09 Agustus 2017

PEMULIHAN KEHUTANAN INDONESIA

Oleh Greitta Kusuma Dewi


Hutan memiliki berbagai manfaat dan fungsi yang menyokong kelangsungan kehidupan manusia. Pengelolaan air, pencegah bencana banjir, tanah longsor dan kekeringan, tempat hidup satwa liar, suplai oksigen (udara bersih) merupakan beberapa manfaat dan fungsi hutan yang penting bagi kehidupan manusia. Manfaat dan fungsi tersebut dapat dirasakan oleh masyarakat Indonesia bahkan dunia apabila hutan sebagai komponen ekosistem biosfer keberadaannya tidak terganggu dan hilang. Namun yang terjadi, manfaat hutan dan bagaimana cara memperolehnya saat ini banyak “terlupakan” dan “dilupakan” oleh mayoritas masyarakat akibat desakan ekonomi jangka pendek. Hal tersebut juga didukung oleh banyaknya manfaat hutan yang intangible (tidak secara nyata dirasakan langsung oleh manusia) dan bersifat “investasi” jangka panjang, tidak seperti halnya dengan manfaat pertanian, pertambangan, perikanan dan lain-lain yang langsung meningkatkan perekonomian. Hal tersebut juga yang membuat arah kebijakan pembangunan, pemeliharaaan dan perlindungan (manajemen) hutan tropika Indonesia saat ini juga mengkiblat pada hutan demi kebermanfaatan kebutuhan ekonomi (materialistik).
Bukti pengkiblatan manajemen hutan ke arah materialistik adalah adanya pembagian hutan menjadi hutan produksi (hutan yang memiliki fungsi pokok produksi) pada UU Kehutanan No. 41 Tahun 1999 yang merupakan perundangan yang mendasari semua kegiatan manajemen hutan di Indonesia. Selain itu, adanya pengusahaan hutan melalui pinjam pakai kawasan hutan (di hutan produksi dan hutan lindung) untuk pertambangan dan lain-lain sebagaimana tertera pada PP No. 24 Tahun 2010 tentang peraturan penggunaan kawasan hutan dan PP No. 2 Tahun 2008 tentang peraturan jenis dan tarif atas penerimaan negara bukan pajak yang berasal dari penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan, serta pelaksanaan HTI dan wisata alam di area hutan lindung juga merupakan bukti pengkiblatan tersebut. Pengusahaan hutan tersebut dilakukan dalam rangka meningkatkan pendapatan sektor kehutanan agar setara dengan pendapatan sektor lainnya seperti pertanian, perkebunan, perikanan dan lain-lain akibat pendapatan tahunan sektor kehutanan yang kecil dalam menyumbang pendapatan tahunan nasional.
Hasil pengkiblatan manajemen hutan ke arah materialistik tersebut justru membuat luas hutan yang rusak semakin banyak (rasio area berhutan dan tidak berhutan tahun 2015 menjadi sama), pendapatan kehutanan yang masih kurang setara dengan pendapatan sektor lain serta diduga menyebabkan produktivitas pertanian dan perkebunan (terutama ekspor kelapa sawit) menurun akibat fungsi hutan sebagai perlindungan penyangga kehidupan terganggu dengan semakin menurunnya kualitas hutan yang ada. Masyarakat juga tidak sadar terjadinya bencana kekeringan, tanah longsor, banjir dan bencana lainnya yang merenggut korban jiwa itu disebabkan oleh rusaknya hutan akibat manajemen hutan yang mengarah pada materialistik tersebut.
            Pola pikir atau mindset manajemen hutan yang materialistik dimana mementingkan pendapatan di atas fungsinya sebagai komponen ekosistem ini sangat fatal karena fungsi komponen eksositem yang menyokong kehidupan manusia dan makhluk hidup lain seharusnya lebih dianggap penting dan dihargai keberadaannya. Sebagaimana yang telah dijelaskan, rusak dan hilangnya hutan akan menyebabkan penurunan kualitas kehidupan dan adanya bencana alam yang mengancam kelangsungan hidup manusia. Uang, emas dan kekayaan lain tentunya tidak ruhnya (kebermanfaatannya) jika manusia sebagai penggunanya tidak hidup. Alangkah lebih baik jika pola pikir tersebut dibalik. Hutan dipertahankan sedemikian rupa seperti sifat aslinya (hutan alam) demi menunjang kegiatan pencarian pendapatan negara yang diperoleh dari sektor lain di samping terjaminnya keamanan kehidupan manusia. Dengan itu, hutan bukan merupakan komoditi melainkan supporting system dan penyukses komoditi dari sektor lain.
            Dengan pentingnya hutan sebagai komponen ekosistem, maka seharusnya manajemen hutan mengkiblat pada fungsi tersebut. Hal pertama yang perlu diperbaiki demi mewujudkan manajemen hutan sebagai komponen ekosistem, yaitu mengubah Undang-Undang Kehutanan nomor 41 tahun 1999 terutama pada pasal 1 dan pasal 6 (2) yang mengartikan dan membedakan hutan berdasarkan fungsinya menjadi hutan lindung, hutan produksi dan hutan konservasi. Pembagian hutan menjadi 3 hutan tersebut justru memberikan pemahaman yang salah dimana hutan yang berfungsi untuk tata kelola air hanya ada pada hutan lindung, hutan yang berfungsi mengkonservasi sumber daya alam hayati hanya ada pada hutan konservasi dan hutan yang fungsi utamanya memproduksi produk hutan (terutama kayu) dan tidak memiliki fungsi lainnya adalah hutan produksi. Masyarakat justru memahami bahwa hutan yang berfungsi sebagai komponen ekosistem yang menyokong kehidupan manusia hanya ada pada hutan lindung dan hutan konservasi, sedangkan hutan produksi tidak. Padahal jika berprinsip pada hutan sebagai komponen ekosistem maka seharusnya pengertian jenis hutan dalam UU No. 41 tahun 1999 diubah menjadi apapun jenis dan bentuk hutan, hutan tersebut memiliki fungsi utama sebagai komponen ekosistem sehingga hutan produksi yang mampu menghasilkan hasil hutan kayu, fungsi penghasil hasil hutan tersebut harus menjadi fungsi nomor 2 (fungsi tambahan).
            Perubahan undang-undang kehutanan yang mengkiblat pada hutan sebagai komponen ekosistem menjadi upaya yang strategis dan penting dilakukan dalam manajemen hutan tropis di Indonesia. Perubahan tersebut menjadi penting karena semua kegiatan dalam bidang kehutanan bersumber dari undang-undang. Dengan diubahnya pengertian dan pembagian hutan yang berkiblat pada hutan sebagai komponen ekosistem maka tentunya kebijakan dan peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang yang mengatur segala macam kebijakan pengusahaan hutan akan dihapus dan dipulihkannya kebijakan dan peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang (termasuk peraturan daerah) yang mengatur pembangunan, pemeliharaan dan pengawasan hutan kembali sebagaimana mestinya seperti hutan alam yang diciptakan Tuhan Yang Maha Esa.
Hal kedua yang perlu diperbaiki demi mewujudkan manajemen hutan yang mengkiblat hutan sebagai komponen ekosistem adalah mindset masyarakat. Perlu diubahnya mindset masyarakat Indonesia yang mengartikan hasil hutan adalah kayu (secara mutlak) menjadi tegakan pohon. Tegakan pohon sebagai hasil hutan ini menjadi sangat berharga dan tidak ternilai harganya dibandingkan kayu. Penilaian sangat berharga dan tidak ternilai harganya ini didasari oleh tegakan pohon hutan yang mengatur kelangsungan kehidupan manusia, besarnya perhitungan penghindaran kerugian materi melalui pencegahan bencana serta nilai bioaktif hutan. Mindset masyarakat ini juga menjadi penting karena peraturan undang-undang tidak akan berjalan tanpa partisipasi aktif dari masyarakat sebagai subyek yang melakukan dan dikenai peraturan tersebut. Contoh pentingnya mindset ini adalah penjarahan besar-besaran hutan oleh masyarakat pada tahun 1998. Penjarahan tersebut menjadi bukti mindset masyarakat yang merasa ikut memiliki hutan namun untuk kebutuhan dan keinginan masing-masing tanpa memperdulikan undang-undang dan isu lingkungan.  
Dengan diaturnya kedua hal tersebut, upaya menuju hutan yang lestari (lestari lingkungan, lestari produksi baik dari sektor non kehutanan maupun kehutanan dan penerimaan/pengakuan oleh masyarakat) akan menjadi upaya yang mudah dilakukan. Hutan yang lestari mampu memberikan manfaat jasa lingkungan yang tinggi kualitasnya dalam menyokong keberlangsungan kehidupan manusia. Kelestarian hutan pada manajemen hutan yang terdapat pemanfaatan produksi dapat diperoleh dengan pemanfaatan sumber daya hutan yang bijaksana. Pemanfaatan yang bijaksana dapat diperoleh dengan memastikan pemanenan hutan memiliki volume tebang (yang ekuivalen dengan volume pada jumlah pohon tertentu) kurang dari atau sama dengan total volume riap pertumbuhan dari tegakan pohon dalam suatu luasan (ha). Disinilah diperlukannya data pengukuran potensi tegakan tahun terakhir dan riap tumbuh tahun berjalan (current annual increment atau CAI) tegakan pohon yang akurat dan teruji keilmiahannya agar perhitungan volume tebang menjadi tepat.. Riap tahun berjalan tersebut sangat sulit untuk dihitung karena penebangan tidak dilakukan hanya pada akhir tahun sehingga perhitungan CAI tersebut dilakukan dengan pendekatan menggunakan metode perhitungan riap tumbuh periodik tahunan (periodic annual increment atau PAI) atau riap rata-rata tahunan (mean annual increment atau MAI).
Pengukuran volume tebang tahunan (annual allowable cut atau AAC) yang berpijak pada data total volume PAI suatu tegakan akan berbeda dengan volume tebang yang berpijak pada data total volume MAI suatu tegakan pohon. Pengukuran total volume PAI tegakan pohon yang diukur pada periode waktu tertentu (biasanya 5 tahun terakhir atau mendekati tahun tebang) kemungkinan akan jauh lebih mewakili kondisi pertumbuhan tegakan pohon terkini daripada pengukuran total volume MAI yang pengukurannya memukul rata pertambahan volume tahunan dari umur pohon (misal 20 tahun). Perlu diketahui bahwa pertumbuhan pohon itu bersifat sigmoig (pada awal masa pertumbuhan/pohon muda, volume riap tumbuh akan besar hingga umur tertentu dan setelahnya akan stagnan) (Gambar 1).

Gambar 1. Kurva sigmoig pertumbuhan pohon

Oleh karena itu, perhitungan volume tebang (AAC) kemungkinan akan lebih sesuai dengan kondisi hutan terkini jika menggunakan data PAI tegakan pohon dibanding perhitungan volume tebang (AAC) dengan total volume MAI tegakan pohon karena ditakutkan penebangan dilakukan pada masa dimana pertumbuhan kayu sedang stagnan sehingga jika menggunakan total volume riap rata-rata tahunan justru akan overestimated. Perhitungan volume tebang yang overestimated apalagi berlangsung dari tahun ke tahun akan menyebabkan tegakan pohon sulit untuk ter-recovery, kualitas hutan menurun, tidak lestari dan terakhir berdampak pada manfaat jasa lingkungan hutan yang tidak dapat tersalurkan dan digunakan demi keberlangsungan hidup manusia.

Sumber :

Bahan Kuliah Manajemen Hutan Tropika Program Pascasarjana Ilmu Kehutanan UGM

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Matriks Produk Komposit dan Sifat Rekatnya

Oleh Greitta K. D.  No Jenis Matriks Status Penggunaan Jenis Produk Komposit Sifat Rekat ...