Oleh Greitta Kusuma Dewi
Hutan
memiliki berbagai manfaat dan fungsi yang menyokong kelangsungan kehidupan
manusia. Pengelolaan air, pencegah bencana banjir, tanah longsor dan kekeringan,
tempat hidup satwa liar, suplai oksigen (udara bersih) merupakan beberapa
manfaat dan fungsi hutan yang penting bagi kehidupan manusia. Manfaat dan
fungsi tersebut dapat dirasakan oleh masyarakat Indonesia bahkan dunia apabila
hutan sebagai komponen ekosistem biosfer keberadaannya tidak terganggu dan
hilang. Namun yang terjadi, manfaat hutan dan bagaimana cara memperolehnya saat
ini banyak “terlupakan” dan “dilupakan” oleh mayoritas masyarakat akibat
desakan ekonomi jangka pendek. Hal tersebut juga didukung oleh banyaknya
manfaat hutan yang intangible (tidak secara
nyata dirasakan langsung oleh manusia) dan bersifat “investasi” jangka panjang,
tidak seperti halnya dengan manfaat pertanian, pertambangan, perikanan dan
lain-lain yang langsung meningkatkan perekonomian. Hal tersebut juga yang
membuat arah kebijakan pembangunan, pemeliharaaan dan perlindungan (manajemen)
hutan tropika Indonesia saat ini juga mengkiblat pada hutan demi kebermanfaatan
kebutuhan ekonomi (materialistik).
Bukti
pengkiblatan manajemen hutan ke arah materialistik adalah adanya pembagian hutan
menjadi hutan produksi (hutan yang memiliki fungsi pokok produksi) pada UU Kehutanan
No. 41 Tahun 1999 yang merupakan perundangan yang mendasari semua kegiatan manajemen
hutan di Indonesia. Selain itu, adanya pengusahaan hutan melalui pinjam pakai
kawasan hutan (di hutan produksi dan hutan lindung) untuk pertambangan dan
lain-lain sebagaimana tertera pada PP No. 24 Tahun 2010 tentang peraturan
penggunaan kawasan hutan dan PP No. 2 Tahun 2008 tentang peraturan jenis dan tarif
atas penerimaan negara bukan pajak yang berasal dari penggunaan kawasan hutan
untuk kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan, serta pelaksanaan HTI
dan wisata alam di area hutan lindung juga merupakan bukti pengkiblatan
tersebut. Pengusahaan hutan tersebut dilakukan dalam rangka meningkatkan
pendapatan sektor kehutanan agar setara dengan pendapatan sektor lainnya
seperti pertanian, perkebunan, perikanan dan lain-lain akibat pendapatan tahunan
sektor kehutanan yang kecil dalam menyumbang pendapatan tahunan nasional.
Hasil
pengkiblatan manajemen hutan ke arah materialistik tersebut justru membuat luas
hutan yang rusak semakin banyak (rasio area berhutan dan tidak berhutan tahun
2015 menjadi sama), pendapatan kehutanan yang masih kurang setara dengan
pendapatan sektor lain serta diduga menyebabkan produktivitas pertanian dan
perkebunan (terutama ekspor kelapa sawit) menurun akibat fungsi hutan sebagai
perlindungan penyangga kehidupan terganggu dengan semakin menurunnya kualitas
hutan yang ada. Masyarakat juga tidak sadar terjadinya bencana kekeringan,
tanah longsor, banjir dan bencana lainnya yang merenggut korban jiwa itu disebabkan
oleh rusaknya hutan akibat manajemen hutan yang mengarah pada materialistik
tersebut.
Pola pikir atau mindset
manajemen hutan yang materialistik dimana mementingkan pendapatan di atas fungsinya
sebagai komponen ekosistem ini sangat fatal karena fungsi komponen eksositem yang
menyokong kehidupan manusia dan makhluk hidup lain seharusnya lebih dianggap penting
dan dihargai keberadaannya. Sebagaimana yang telah dijelaskan, rusak dan
hilangnya hutan akan menyebabkan penurunan kualitas kehidupan dan adanya
bencana alam yang mengancam kelangsungan hidup manusia. Uang, emas dan kekayaan
lain tentunya tidak ruhnya (kebermanfaatannya) jika manusia sebagai penggunanya
tidak hidup. Alangkah lebih baik jika pola pikir tersebut dibalik. Hutan
dipertahankan sedemikian rupa seperti sifat aslinya (hutan alam) demi menunjang
kegiatan pencarian pendapatan negara yang diperoleh dari sektor lain di samping
terjaminnya keamanan kehidupan manusia. Dengan itu, hutan bukan merupakan
komoditi melainkan supporting system
dan penyukses komoditi dari sektor lain.
Dengan pentingnya hutan sebagai komponen ekosistem, maka
seharusnya manajemen hutan mengkiblat pada fungsi tersebut. Hal pertama yang
perlu diperbaiki demi mewujudkan manajemen hutan sebagai komponen ekosistem,
yaitu mengubah Undang-Undang Kehutanan nomor 41 tahun 1999 terutama pada pasal 1
dan pasal 6 (2) yang mengartikan dan membedakan hutan berdasarkan fungsinya
menjadi hutan lindung, hutan produksi dan hutan konservasi. Pembagian hutan
menjadi 3 hutan tersebut justru memberikan pemahaman yang salah dimana hutan
yang berfungsi untuk tata kelola air hanya ada pada hutan lindung, hutan yang
berfungsi mengkonservasi sumber daya alam hayati hanya ada pada hutan
konservasi dan hutan yang fungsi utamanya memproduksi produk hutan (terutama
kayu) dan tidak memiliki fungsi lainnya adalah hutan produksi. Masyarakat justru
memahami bahwa hutan yang berfungsi sebagai komponen ekosistem yang menyokong
kehidupan manusia hanya ada pada hutan lindung dan hutan konservasi, sedangkan
hutan produksi tidak. Padahal jika berprinsip pada hutan sebagai komponen
ekosistem maka seharusnya pengertian jenis hutan dalam UU No. 41 tahun 1999 diubah
menjadi apapun jenis dan bentuk hutan, hutan tersebut memiliki fungsi utama
sebagai komponen ekosistem sehingga hutan produksi yang mampu menghasilkan
hasil hutan kayu, fungsi penghasil hasil hutan tersebut harus menjadi fungsi
nomor 2 (fungsi tambahan).
Perubahan undang-undang kehutanan yang mengkiblat pada
hutan sebagai komponen ekosistem menjadi upaya yang strategis dan penting
dilakukan dalam manajemen hutan tropis di Indonesia. Perubahan tersebut menjadi
penting karena semua kegiatan dalam bidang kehutanan bersumber dari
undang-undang. Dengan diubahnya pengertian dan pembagian hutan yang berkiblat
pada hutan sebagai komponen ekosistem maka tentunya kebijakan dan peraturan
perundang-undangan di bawah undang-undang yang mengatur segala macam kebijakan
pengusahaan hutan akan dihapus dan dipulihkannya kebijakan dan peraturan
perundang-undangan di bawah undang-undang (termasuk peraturan daerah) yang
mengatur pembangunan, pemeliharaan dan pengawasan hutan kembali sebagaimana
mestinya seperti hutan alam yang diciptakan Tuhan Yang Maha Esa.
Hal
kedua yang perlu diperbaiki demi mewujudkan manajemen hutan yang mengkiblat hutan
sebagai komponen ekosistem adalah mindset
masyarakat. Perlu diubahnya mindset masyarakat Indonesia yang mengartikan hasil
hutan adalah kayu (secara mutlak) menjadi tegakan pohon. Tegakan pohon sebagai hasil
hutan ini menjadi sangat berharga dan tidak ternilai harganya dibandingkan kayu.
Penilaian sangat berharga dan tidak ternilai harganya ini didasari oleh tegakan
pohon hutan yang mengatur kelangsungan kehidupan manusia, besarnya perhitungan penghindaran
kerugian materi melalui pencegahan bencana serta nilai bioaktif hutan. Mindset masyarakat ini juga menjadi
penting karena peraturan undang-undang tidak akan berjalan tanpa partisipasi
aktif dari masyarakat sebagai subyek yang melakukan dan dikenai peraturan
tersebut. Contoh pentingnya mindset ini adalah penjarahan besar-besaran hutan
oleh masyarakat pada tahun 1998. Penjarahan tersebut menjadi bukti mindset
masyarakat yang merasa ikut memiliki hutan namun untuk kebutuhan dan keinginan
masing-masing tanpa memperdulikan undang-undang dan isu lingkungan.
Dengan
diaturnya kedua hal tersebut, upaya menuju hutan yang lestari (lestari
lingkungan, lestari produksi baik dari sektor non kehutanan maupun kehutanan
dan penerimaan/pengakuan oleh masyarakat) akan menjadi upaya yang mudah
dilakukan. Hutan yang lestari mampu memberikan manfaat jasa lingkungan yang
tinggi kualitasnya dalam menyokong keberlangsungan kehidupan manusia. Kelestarian
hutan pada manajemen hutan yang terdapat pemanfaatan produksi dapat diperoleh dengan
pemanfaatan sumber daya hutan yang bijaksana. Pemanfaatan yang bijaksana dapat
diperoleh dengan memastikan pemanenan hutan memiliki volume tebang (yang
ekuivalen dengan volume pada jumlah pohon tertentu) kurang dari atau sama
dengan total volume riap pertumbuhan dari tegakan pohon dalam suatu luasan (ha).
Disinilah diperlukannya data pengukuran potensi tegakan tahun terakhir dan riap
tumbuh tahun berjalan (current annual
increment atau CAI) tegakan pohon yang akurat dan teruji keilmiahannya agar
perhitungan volume tebang menjadi tepat.. Riap tahun berjalan tersebut sangat
sulit untuk dihitung karena penebangan tidak dilakukan hanya pada akhir tahun sehingga
perhitungan CAI tersebut dilakukan dengan pendekatan menggunakan metode
perhitungan riap tumbuh periodik tahunan (periodic
annual increment atau PAI) atau riap rata-rata tahunan (mean annual increment atau MAI).
Pengukuran
volume tebang tahunan (annual allowable
cut atau AAC) yang berpijak pada data total volume PAI suatu tegakan akan
berbeda dengan volume tebang yang berpijak pada data total volume MAI suatu tegakan
pohon. Pengukuran total volume PAI tegakan pohon yang diukur pada periode waktu
tertentu (biasanya 5 tahun terakhir atau mendekati tahun tebang) kemungkinan akan
jauh lebih mewakili kondisi pertumbuhan tegakan pohon terkini daripada
pengukuran total volume MAI yang pengukurannya memukul rata pertambahan volume tahunan
dari umur pohon (misal 20 tahun). Perlu diketahui bahwa pertumbuhan pohon itu
bersifat sigmoig (pada awal masa pertumbuhan/pohon muda, volume riap tumbuh
akan besar hingga umur tertentu dan setelahnya akan stagnan) (Gambar 1).
Gambar 1. Kurva sigmoig pertumbuhan pohon
Oleh karena itu,
perhitungan volume tebang (AAC) kemungkinan akan lebih sesuai dengan kondisi
hutan terkini jika menggunakan data PAI tegakan pohon dibanding perhitungan
volume tebang (AAC) dengan total volume MAI tegakan pohon karena ditakutkan
penebangan dilakukan pada masa dimana pertumbuhan kayu sedang stagnan sehingga
jika menggunakan total volume riap rata-rata tahunan justru akan overestimated. Perhitungan volume tebang
yang overestimated apalagi
berlangsung dari tahun ke tahun akan menyebabkan tegakan pohon sulit untuk ter-recovery, kualitas hutan menurun, tidak
lestari dan terakhir berdampak pada manfaat jasa lingkungan hutan yang tidak
dapat tersalurkan dan digunakan demi keberlangsungan hidup manusia.
Sumber :
Bahan Kuliah Manajemen
Hutan Tropika Program Pascasarjana Ilmu Kehutanan UGM
Tidak ada komentar:
Posting Komentar